Hindari Risiko Kurs, Pemerintah Diminta Berutang di Dalam Negeri

Jakarta–Guna memenuhi kebutuhan pembiayaan pembangunan nasional melalui utang, diharapkan dapat bersumber dari dana di dalam negeri. Pasalnya, utang dalam bentuk rupiah diyakini mampu menghindari risikocurrency mismatch akibat pelemahan nilai tukar.

“Lebih baik kita berutang di dalam negeri. Jangan berutang ke luar negeri. Apalagi dalam bentuk valuta asing,” ujar Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (DK-OJK), Rahmat Waluyanto, ketika di temui Infobank,di Hotel Borobudur belum lama ini, di Jakarta.

Meski Amerika Serikat (AS) memilik rasio utang terhadap PDB sebesar 80% dan Jepang mencapai 200%, namun menurutnya kedua negara ini lebih banyak berutang di dalam negeri sendiri. “Pemerintah Jepang dan Amerika Serikat yang rasio utangnya tinggi, mereka berutang kepada masyarakatnya sendiri,” tukasnya.

Sejauh ini, sebagian besar porsi utang pemerintah dipergunakan untuk membiayai kebutuhan pembangunan nasional. “OJK harus melihat sebagian besar utang, karena sektor industri atau pemerintah memerlukan pembiayaan. Kami berupaya mendorong diversifikasi instrumen pembiayaan,” ucap Rahmat.

Lebih lanjut dia mengatakan, terkait dengan jumlah utang Indonesia yang mencapai Rp2.000 triliun, kondisi perlu mendapatkan perhatian secara komprehensif untuk mengetahui penyebab besarnya jumlah utang tersebut. “Tapi, sebenarnya utang juga mempunyai aspek yang baik. Pemerintah berutang, karena kebutuhannya yang besar,” paparnya.

Rahmat mengungkapkan, meski selama ini sebagian utang pemerintah digunakan untuk membayar utang di masa sebelumnya, namun secara umum kondisi utang negara sudah terkelola secara baik. “Kita gali lubang tutup lubang, tetapi sekarang lubangnya semakin kecil. Utang lama dan utang baru terkelola lebih baik dan tenornya lebih panjang serta suku bunganya lebih rendah,” tegas dia.

Relatif terkendalinya utang negara, menurut Rahmat, hal ini ditandai dengan rasio utang Indonesia terhadap PDB menjadi berkisar 25%-27%. Padahal, ujar dia, pasca krisis ekonomi 1998, rasio utang Indonesia mencapai 95%. “Selama ini, sebagian besar utang kita adalah utang bilateral yang sifatnya soft loan. Digunakan untuk pembiayaan proyek, membeli aset dalam bentuk jembatan, pabrik, jalan tol dan pembangunan infrastruktur lainnya,” imbuhnya.

Rahmat menegaskan, apabila ke depannya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mengalami penguatan, maka rasio utang Indonesia akan mengecil, begitu pula sebaliknya. Dengan demikian, lanjut dia, guna menghindari risiko kurs akibat utang luar negeri, maka pemerintah diminta untuk berutang dari dana di dalam negeri.