DPR: Asumsi Makro Melenceng Jauh, APBN-P Logis Direvisi

Jakarta–Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengungkapkan bahwa pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) menjadi logis ketika indikator semacam makro ekonomi mengalami perubahan secara signifikan.

Ketua Banggar DPR RI, Ahmadi Noor Supit menyatakan, pembahasan APBN-P memang harus segera dilakukan bila berbagai macam asumsi makro ekonomi yang tertuang di APBN 2014 telah melenceng jauh dari realitas di lapangan. Bisa terjadi ketidakseimbangan bila tidak ada perubahan.

“Kalau memang disepakati maka pembahasan APBN-P (2014) akan kita lanjutkan. Dari yang disampaikan pemerintah bahwa APBN memang (harus) mengalami perubahan yang cukup signifikan”, kata Ahmadi, saat membuka rapat kerja bersama pemerintah, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa, 3 Juni 2014.

Ahmadi tidak menampik bahwa dalam undang-undang APBN yang sudah disepakati antara pemerintah dengan DPR RI tercantum mengenai dibolehkannya pemerintah mengajukan APBN-P bila asumsi makro sudah tidak sesuai lagi karena terjadi perubahan, baik akibat faktor eksternal maupun faktor internal.

Di antara perubahan yang dimaksudkan sendiri, yakni terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi minimal sebanyak 1%, terjadi pengurangan pendapatan negara, terutama pada pendapatan pajak minimal 10%, dan terjadinya defisit anggaran dengan minimal sebanyak 10%.

“Kalau kemarin disepakai di APBN 2014 defisit 1,9%, maka 10% dari angka itu kira-kira 1,7%. Maka kondisi itu juga sudah dipenuhi. Artinya, APBN-P bisa diajukan”, jelas Ahmadi.

Ahmadi menilai, jika beberapa indikator tersebut sudah dipenuhi, maka APBN-P memang harus segera dilakukan. Jika pemerintah dan DPR RI tidak membahas mengenai APBN-P, bukan tidak mungkin terjadi pelanggaran dari sisi tidak menjalankan perundang-undangan.

“Kalau APBN dibiarkan begitu saja, yang terjadi adalah melewati persyaratan UU yang ada. Defisit bisa saja mencapai 5%. Selain itu, APBN-P perlu memang dibahas karena terjadi penurunan belanja pusat hampir Rp100 triliun. Ini tidak pernah terjadi selama ini. Bisa ada dampak luar biasa”, pungkas Ahmadi.