Bank Memahami Nasabah, tapi Kurang Memahami Karyawan

Bisnis bank sangat tergantung pada kemampuannya mengumpulkan dana dari masyarakat. Semakin mahir bank tersebut mengumpulkan dana, baik dari jumlah maupun (murah) harganya, semakin besar ruang gerak bank tersebut dalam bertumbuh. Karena itu, bank sangat berkepentingan meyakinkan bahwa nasabah-nasabah penabungnya loyal dan tidak memindahkan dana ke bank lain.

Bank berusaha sebisa mungkin memahami karakter nasabahnya yang berbeda-beda sesuai dengan jenis produk bank yang ditawarkan dan nilai-nilai spesifik yang dihargai nasabah tersebut. Bank dengan visi sebagai bank transaksi akan meyakinkan bahwa dia menawarkan kemudahan transaksi melalui kehadiran cabang di mana-mana, jaringan online sampai ke pelosok-pelosok, fungsi transaksi automatic teller machine (ATM) yang komplet, serta penyediaan perangkat phone banking dan electronic banking yang canggih dan gampang digunakan.

Sebaliknya, bank dengan visi bank deposit tidak terlalu memikirkan jumlah cabang dan kemudahan transaksi melalui perangkat electronic channel. Bank ini akan meyakinkan bahwa dengan menabung di banknya, nasabah akan mendapatkan bunga yang tinggi dan pelayanan prioritas yang superprima.

Bank-bank papan atas maupun papan tengah berusaha semampunya untuk menawarkan produk dan layanan yang sesuai dengan karakter nasabahnya. Cara itu diyakini ampuh untuk mendapatkan kepercayaan dan meningkatkan loyalitas nasabah.

Karena itu, bank-bank tersebut sudah sangat biasa secara rutin melakukan studi untuk memahami karakter nasabah. Karena, memang, pemahaman yang baik terhadap karakter nasabah merupakan kunci untuk memberikan penawaran produk serta layanan yang sesuai, dan ujungnya mendapatkan loyalitas nasabah yang tinggi terhadap produk tabungannya.

Sejauh ini formula tersebut cukup berhasil. Secara nasional jumlah dana pihak ketiga (DPK) tumbuh lebih dari 30%, yang turut menyokong pertumbuhan kredit yang berkisar antara 20%-50%.

Sayangnya, bank-bank di Indonesia tidak menggunakan rasio yang sama sebagai formula untuk meningkatkan loyalitas karyawannya. Bank memiliki statistik yang kurang bagus dalam penanganan sumber daya manusia (SDM). Tingkat turn over di bank untuk fungsi bisnis mencapai angka 25% setahun. Hanya sepertiga karyawan yang loyal. Dan, hampir separuh karyawan berpikir untuk siap-siap pindah ke bank lain demi kemajuan kariernya. Perusahaan di Indonesia, termasuk bank, juga menyatakan bahwa sebagian besar (8 dari 10) menghadapi problem dalam me-retain karyawan terbaiknya.

Studi yang dilakukan Towers Watson dalam Talent Management and Rewards Survey 2012 dengan sampel di Indonesia sebanyak 52 perusahaan, yang sepertiganya adalah bank, menemukan bahwa perusahaan tidak memahami apa faktor-faktor yang menjadi pertimbangan karyawan untuk tetap stay dan tidak pindah ke perusahaan lain.

Karyawan mempertimbangkan faktor-faktor, seperti lokasi kerja yang nyaman, kesempatan untuk mempelajari keahlian baru, dan benefit pensiun. Sementara, perusahaan tidak melihat hal tersebut dianggap penting oleh karyawan. Perusahaan malah merasa unsur-unsur lain, seperti jaminan pekerjaan, citra perusahaan, dan program insentif, dianggap penting oleh karyawan, yang justru sama sekali tidak termasuk faktor-faktor utama yang dipertimbangkan karyawan untuk memilih atau stay di satu perusahaan.

Suatu gap yang besar antara apa yang menurut karyawan penting baginya dan apa yang menurut perusahaan dianggap penting oleh karyawannya. Ketidakmampuan perusahaan (termasuk bank) memahami karakter karyawannya sendiri tentu saja merupakan cikal bakal yang menyebabkan tidak mampunya bank menawarkan solusi dan program yang relevan serta membuat karyawannya lebih loyal. Ibaratnya, tidak bertemu ruas dengan tebu.

Ketidakmampuan ini sangat disayangkan, mengingat bank sangat mahir menggunakan logika ini dalam membuat nasabah lebih loyal kepada produk seperti tabungan dan kartu kredit. Bank memahami bahwa semuanya harus dimulai dari pemahaman yang betul terhadap karakter nasabahnya, kemudian mengembangkan produk dan layanan yang sesuai.

Logika yang sama seharusnya dengan gampang diterapkan ketika berhadapan dengan karyawan. Pahami apa karakter karyawan, baru menawarkan solusi SDM yang sesuai. Namun, entah apa yang membuat “jampi-jampi” yang sangat manjur dan sudah terbukti ketika diterapkan kepada nasabah ini seperti terlupakan begitu saja. (*)

Penulis adalah pengamat SDM bank dan kini menjabat direktur di Tower Watson Indonesia, global HR consultant. Dapat diaksesmelalui [email protected]