Jakarta– Meski nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup di level Rp11.900 an per USD, namun rupiah sempat menginjak di level Rp12.000 per USD. Bank Indonesia (BI) mengaku, anjloknya nilai tukar rupiah tersebut disebabkan karena kondisi global yang tidak menentu.
Gubernur BI, Agus D.W. Martowardojo menjelaskan, kondisi global yang tidak menentu tersebut salah satunya yakni adanya faktor kondisi geo politik di Irak yang telah menimbulkan ketegangan dan kekhawatiran yang diperkirakan akan berdampak pada naiknya harga minyak.
“Saya melihat itu sebagai kondisi yang mencerminkan pasar dan jika kita ikuti dan dalami, mungkin yang utama karena faktor dunia kondisi geo politik di Irak sana yang menimbulkan ketegangan dan kekhawatiran yang sebabkan kenaikan harga minyak dan ini dampaknya luas kepda dunia terutama bagi negara nett importer jadi lebih sensitif,” ujarnya, di Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu malam 18 Juni 2014.
Sementara itu, dalam meeting Federal Open Market Committee (FOMC) yang menyebutkan bahwa inflasi di AS agak meningkat, telah menimbulkan kekhawatiran juga di pasar. Sehingga, hal tersebut tentunya akan berdampak pada percepatan peningkatan bunga The Fed (Fed Rate).
“Ada kekhawatiran akan terjadi percepatan peningkatan bunga di fed rate. Secara teratur terjadi tapering di FOMC, penyesuaian tingkat bunga. Jika situasi cenderung meningkat maka di khawatirkan respon akan lebih cepat,” tukasnya.
Selain itu faktor yang lainnya, yakni perkembangan ekonomi di Tiongkok dan Eropa. Menurutnya, pada negara berkembang termasuk juga Indonesia telah berpengaruh pada nilai tukar rupiah.
“Yang banyak mempengaruhi nilai tukar rupiah itu adalah adanya pembelian dari korporasi retail untuk valas dan pembelian itu musiman, karena mereka membutuhkan dana pembayaran ke luar negeri, pembayaran bunga, dividen, apapun kewajiban keluar itu,” tutup Agus.