“Saya banyak belajar” merupakan kalimat yang sering diucapkan oleh Pak Haryanto T. Budiman selama sesi wawancara berlangsung. Di saat banyak orang lain menolak apabila diberikan tantangan baru, beliau justru mengahadapi tantangan tersebut dengan penuh rasa optimisme.
Pria yang akrab disapa Pak Haryanto merupakan Managing Director and Senior Country Officer (Chief Executive) J.P. Morgan Indonesia dan Ketua Umum Ikatan Bankir Indonesia (IBI). Sebenarnya, tidak pernah terbesit dalam pikiran beliau menjadi seorang bankir, terlihat dari studi doktoralnya di bidang Aeronautics and Astronautics di Massachusetts Institute of Technology (MIT), Amerika Serikat. Kerja keras, kemauan untuk selalu belajar, dan kemampuan adaptibilitas pada akhirnya mampu membawa Pak Haryanto mencapai tingkat kesuksesan di perbankan Indonesia.
Pak Haryanto lahir pada tahun 1968. Masa kecilnya dihabiskan di daerah Cawang Kapling, Jakarta Timur. Pak Haryanto berasal dari keluarga yang sederhana, namun ayah beliau memiliki visi yang besar. Pada saat masih di Sekolah Menengah Atas (SMA), ayah beliau menawarkan kesempatan untuk kuliah ke Amerika Serikat (AS).
Namun, uang yang disediakan hanya sekitar 30 juta rupiah atau setara USD 15 ribu. Sebenarnya uang sebesar itu hanya cukup untuk biaya kuliah dan ongkos hidup selama satu tahun, tetapi Pak Haryanto memberanikan diri berangkat ke AS. Beliau menamatkan S-1 di program Aerospace Engineering di Texas A&M University.
Tekat kuat menjadi seorang professor membawa beliau mencapai jenjang pendidikan tinggi S-3 di MIT. Di saat MIT membuka seleksi pemilihan profesor, Pak Haryanto langsung melamar. Dari 150 pelamar, tersisa menjadi 6 orang dan Pak Haryanto termasuk disana. 6 kadidat diseleksi, tetapi Pak Haryanto belum berhasil lolos. Pada saat itu juga, beliau melamar di McKinsey melalui jalur Advanced Professional Degree untuk penempatan di Indonesia dan beliau diterima.
“Di McKinsey, saya banyak belajar mengenai akuntansi, pemasaran, manajemen stratejik, makroekonomi, dan mikroekonomi melalui program training Mini MBA selama 4 minggu secara intensif” ujarnya.
Di McKinsey, Pak Haryanto sering terlibat dan berinteraksi dengan berbagai institusi keuangan. Selain itu, Pak Haryanto juga memperoleh berbagai penugasan di luar negeri seperti Korea Selatan, Amerika Serikat, Malaysia, Singapura dan Australia.
Memiliki banyak pengalaman dengan berbagai perusahaan jasa keuangan termasuk perbankan global dan asuransi membuat Pak Haryanto menjadi salah satu konsultan untuk proyek strategis di bidang jasa keuangan. Misalnya, merger 4 bank yaitu Ekspor Impor Indoneaia (Bank Exim), Bank Dagang Negara (BDN), Bank Bumi Daya (BBD), dan Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) untuk menjadi Bank Mandiri. Lalu, Pak Haryanto juga bergabung dalam proyek Bank Indonesia dalam menyusun Arsitektur Perbankan Indonesia (API).
Pada saat Bapak Agus Martowardojo menjadi Direktur Utama Bank Mandiri, McKinsey ditunjuk untuk menyusun corporate plan Bank Mandiri 2005-2010. Kondisi tersebut membuat Pak Haryanto Budiman sering berinteraksi dengan Pak Agus. Setelah bekerja selama 10 tahun di McKinsey, Pak Haryanto memutuskan untuk keluar.
Tidak berselang lama, beliau langsung memperoleh tawaran sebagai Senior Executive Vice President bidang Change Management Office di Bank Mandiri. Bidang tersebut merupakan unit yang menyusun rencana strategis Bank Mandiri ke depan. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila Pak Haryanto selalu terlibat dalam berbagai proyek penting.
Misalnya, akusisi Bank Sinar Harapan Bali yang saat ini telah ber transformasi menjadi Bank Mantab (Mandiri Taspen Pos). Selain itu, Pak Haryanto terlibat dalam peningkatan kepemilikan Bank Mandiri di AXA dari 49 persen menjadi 51 persen dan pembelian Tunas Finance yang akhirnya menjadi Mandiri Tunas Finance. Beliau juga menjadi anggota tetap Komite Kredit tingkat direksi mewakili bidang manajemen resiko. Pak Haryanto merasa belajar banyak di Bank Mandiri sebagai bank terbesar di Indonesia.
Di sekitar bulan September 2011, Pak Haryanto memperoleh tawaran menjadi Managing Director and Senior Country Officer (Chief Executive) J.P. Morgan Indonesia.
Beliau mengatakan “Saya awalnya tidak tertarik pada opportunity yang disampaikan ke saya oleh teman saya yang bekerja di J.P. Morgan pada saat itu”.
“Tapi, ternyata teman saya orangnya persistent, jadi saya diajak lagi ngopi dengan head of investment banking J.P. Morgan Indonesia. Setelah selesai, saya baru tahu bahwa ternyata pertemuan tersebut sebenarnya adalah sesi interview juga”.
“Teman saya lalu meminta saya mengirimkan resume. Nah, masalahnya saya tidak punya resume. Akhirnya saya kirim LinkedIn profile saya dan saya kira ini gak akan serius lah” kata Pak Haryanto sambil tertawa.
Beliau menyebutkan “Selang seminggu tidak ada berita, teman saya menelpon lagi dan mengatakan bahwa CEO Asia tertarik untuk ketemu. Kok ketemunya langsung dengan CEO Asia? Biasanya kan kalau interview proses ronde pertama dengan working level, baru masuk ronde kedua, masuk ronde ketiga, final decision baru ketemu dengan Regional CEO”.
“Teman saya mengatakan kalau CEO Asia mau ketemu dulu sama kandidat. Kalau beliau nyaman dengan kandidat tersebut, baru yang lain – lain boleh interview tuh” imbuhnya.
Ada hal yang unik saat proses interview. Memiliki jadwal yang padat, Pak Haryanto ingin melakukan sesi interview melalui video conference. Kebetulan sekali, salah satu konsultan global sedang berusaha untuk menjadikan Bank Mandiri sebagai klien mereka dan konsultan tersebut secara proaktif mengatur adanya benchmarking trip ke salah satu bank terbesar India di Mumbai.
Untuk ke Mumbai, karena tidak ada jadwal penerbangan langsung dari Jakarta, beliau harus transit di Singapura. “Begitu saya mengetahui jadwal saya, saya memberitahu teman saya jadwal saya agar dapat diatur video conference di kantor J.P. Morgan Singapore untuk terhubung dengan J.P.Morgan Hong Kong”.
Tidak lama kemudian, teman Pak Haryanto langsung merespon “Har, you wouldn’t believe it! CEO Asia J.P. Morgan kebetulan sedang berada di Singapura saat itu dan dia dengan senang hati bertemu dengan kamu during breakfast di Four Seasons Singapore”.
Singkat cerita, proses interview dengan CEO Asia J.P. Morgan berjalan dengan baik. Di ujung sesi interview, CEO Asia J.P. Morgan mengatakan bahwa Pak Haryanto akan bertemu dengan 5 hingga 6 orang bankir senior minggu berikutnya di Singapura.
“Wah, Saya senang karena minggu berikutnya adalah lebaran dan keluarga saya memang berencana liburan ke Singapura” ujar beliau.
“Tapi, ternyata setelah diinfokan, saya interview bukan dengan lima sama enam orang. Tapi, dengan 12 orang. Jadi, kamis ada 8 interview dan Jumat 4 interview. Kalau tidak salah, 6 face-to-face dan 6 melalui video conference dengan Hong Kong” imbuhnya.
Dengan jadwal interview yang banyak, keluarga Pak Haryanto hanya memiliki waktu yang sedikit untuk menikmati liburan di Singapura. Namun, kabar baik datang pada hari Senin beberapa hari kemudian. Sore hari, sekretaris CEO Asia J. P. Morgan menelpon dan menghubungkan beliau dengan CEO Asia.
“We have concluded because I have gotten the feedback from everybody that have met you. We would like to give you an offer” Kata CEO Asia J.P. Morgan kepada Pak Haryanto.
Pak Haryanto menambahkan “Mereka perlu saya untuk memberikan nama dan nomor telpon 5 orang yang akan dihubungi oleh J.P. Morgan untuk mendapatkan referensi tentang saja. Selasa dan Rabu mereka telepon mereka (referensi Pak Haryanto–red). Kamis pagi sebelum saya berangkat ke kantor, telpon saya bunyi lagi”
CEO Asia JP Morgan mengatakan “We finish checking references, they are all positive. We’ll already to give you an offer.”
Kini Pak Haryanto telah memimpin perwakilan Indonesia dari perusahaan global tersebut hampir 8 tahun. Bahkan pada ulang tahun J.P. Morgan Indonesia yang ke-50 di 2018, Pak Haryanto berhasil mengundang CEO global J.P. Morgan, Jamie Dimon ke Indonesia dan bertemu dengan Presiden Joko Widodo, Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Kepala BKPM Thomas Lembong dan nasabah-nasabah utama.
Pak Haryanto merupakan salah satu sosok bankir yang senantiasa bekerja keras dan selalu bangkit dari kegagalan. Pada saat berkuliah S-3, beliau gagal menjadi seorang profesor. Selain itu, saat menjadi konsultan, beliau ditunda pengangkatan nya dari junior partner menjadi full partner (istilah di McKinsey adalah positive deferral) selama dua kali sehingga beliau memutuskan untuk mengundurkan diri. Namun, dari kegagalan tersebut, beliau selalu belajar dan berusaha hingga meraih kesuksesan di Bank Mandiri dan di J.P. Morgan Indonesia.
Reporter: Dendy Indramawan dan Magdalena Fenisia Caroline