Jakarta–Upaya Bank Indonesia (BI) mendorong transaksi nontunai di Tanah Air terbentur perilaku masyarakat yang masih terbiasa transaksi dengan menggunakan uang tunai.
“Untuk itu BI luncurkan program less cash society. Uang tunai kalau bisa berkurang hebat, baru Swedia yang bisa. Ini melambat saja sudah bagus,” ujar Deputi Direktur Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI, Yura A. Djalins, di Jakarta, Rabu, 11 Juni 2014.
Ia menegaskan, bahwa untuk mendorong program less cash society, pihaknya fokus mengembangkan instrumen e-money yang aturannya telah diperbarui, termasuk menghapuskan batas minimal transaksi dari Rp50 ribu jadi nol rupiah.
“Kalau kartu kredit itu bukan good fund (karena dananya adalah pinjaman), ada risikonya. Akhir tahun lalu kita sudah perketat penerbitan kartu kredit akibat risikonya yang cukup besar,” tuturnya.
Sementara untuk kartu debit, lanjut Yura, cenderung sudah lebih populer namun secara karakter berbeda dengan e-money yang memang didesain untuk memudahkan masyarakat melakukan transaksi bernominal kecil atau receh.
“Lalu berulang-ulang dan digunakan secara massal. Kaya utk transportasi,” imbuhnya.
Setiap tahun, bank sentral mengeluarkan biaya sekitar Rp2 triliun untuk pengadaan dan distribusi uang tunai ke seluruh wilayah Indonesia. Sedangkan transaksi e-money masih jauh diminati, dengan nominal rata-rata transaksi harian sebesar Rp7,7 miliar pada April 2014. Padahal dari data BI, ada sekitar 30,5 juta instrumen e-money yang beredar di masyarakat, namun volume transaksinya hanya sebesar 13,48 juta. Bila dipukul rata satu instrumen satu transaksi dalam sebulan, maka setengah dari instrumen yang beredar tak digunakan sama sekali.